Beranda | Artikel
SHALAT AWWABIN
Senin, 8 Januari 2024

Soal: Assalamualaikum, mau tanya tentang shalat Awwabin yang dilakukan setelah shalat Maghrib dan sebelum masuk waktu Shalat Isya, apakah ada dalilnya? Lalu apakah hadits tentang shalat Awwâbin berikut ini shahih atau tidak? Artinya, “Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di antara shalat-shalat itu tidak berkata dengan kata-kata yang buruk, maka shalatnya sebanding dengan ibadah dua belas tahun”.

081225xxxxx

Jawab: Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa Awwâbun berasal dari bahasa Arab Awab yang artinya adalah rujuk. Jadi, maka awwâb adalah rajja’ atau munîb, yaitu orang yang sering bertaubat (dari dosa dan kesalahan). Shalat Awwâbîn adalah shalat orang-orang yang taat kepada Allâh عزوجل . Shalat sunnah Awwâbîn sebenarnya adalah Shalat Dhuha yang dilakukan setelah matahari terbit dan agak meninggi hingga menjelang waktu shalat Zhuhur, sebagaimana disampaikan Rasûlullâh ﷺ . diantaranya:

Hadits Zaid bin Arqam رضي الله عنه , Beliau berkata :

خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ، فَقَالَ: صَلاةُ الأَوَّابِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الفِصَالُ

Rasûlullâh ﷺ keluar menuju penduduk Quba’ dimana mereka sedang melaksanakan shalat. Maka Beliau ﷺ bersabda, “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak-anak unta telah kepanasan” (HR. Muslim no. 748)

Dalam riwayat Imam Ahmad رحمه الله dari Zaid bin Arqam رضي الله عنه :

أَنَّ النَّبِيَّ اللَّهِ ص أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتِ الشَّمْشُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّوْنَ فَقَالَ إِنَّ صَلَاةَ الأَوَّابِيْنَ كَانُوْا يُصَلُّوْنَهَا إِذَا رَمَضَتِ الفِصَالُ

Nabi ﷺ mendatangi atau memasuki masjid Quba’ setelah matahari terbit yang ketika itu orang-orang sedang melakukan shalat. Maka Beliau ﷺ bersabda, “Shalat Awwâbîn, mereka melakukannya saat anak unta kepanasan. (HR. Ahmad no. 19366)

Dari al-Qâsim asy-Syaibani رضي الله عنه :

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّوْنَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَّا لَقَدْ عَلِمُوْا أَنَّ الصَّلَاةَ فِيْ غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ ، قَالَ: (( صَلَاةُ الأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الفِصَالُ)).

Zaid bin Arqam رضي الله عنه melihat beberapa orang yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka Beliau berkata : “Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama ? Rasûlullâh ﷺ telah bersabda : “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan”. (HR. Muslim no. 748)

Pengingkaran Zaid bin Arqam رضي الله عنه ini bukan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha, akan tetapi pengingkarannya supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar. Karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (shalat Awwâbîn) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas.

Dari Abi Hurairah رضي الله عنه Beliau berkata :

أَوْصَـــانِيْ خَلِيْلِيْ بِثَلاَثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ، أَنْ لَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ، وَأَنْ لَا أَدَعَ رَكْعَتَي الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الأَوَّابِيْنَ، وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Kekasihku telah mewasiatiku dengan tiga hal untuk tidak aku tinggalkan; yaitu : Melakukan witir sebelum tidur, tidak meninggalkan dua raka’at shalat Dhuha – karenasesungguhnya ia adalah shalat Awwâbîn (shalatnya orang-orang yang taat kepada Allâh) – , dan puasa tiga hari setiap bulan” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1223).

Demikian juga Nabi ﷺ bersabda;

لَا يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى إِلَّا أَوَّابٌ  وَهِيَ صَلَاةُ الأَوَّابِيْنَ

Tidak ada yang bisa menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha) adalah shalat awwâbîn (shalatnya orang yang senang bertaubat).” (Silsilah as-Shahîhah, no. 703).

Imam An-Nawawi رحمه الله berkata :

Sabda Nabi ﷺ (yang artinya-red), “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan” ; yaitu dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim. Dikatakan ramidha – yarmadhu, maka hal ini seperti kata ‘alima – ya’lamu. Makna ar-Ramdhâ’ yaitu kerikil yang menjadi sangat panas karena terik matahari dimana saat kuku-kuku al-fi shâl (yaitu anak-anak unta yang masih kecil – bentuk jamaknya adalah fashîlun) terbakar karena panasnya kerikil. Dan al-awwâb adalah orang yang taat (al[1]muthî’) atau orang yang kembali kepada ketaatan. Di dalam hadits ini terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata, “Ia merupakan waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha boleh dilakukan sejak matahari terbit dan agakmeninggi hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614; Maktabah Ash-Shaid].

Namun ada anggapan dari sebagian orang yang menamakan shalat sunnah yang dilaksanakan antara waktu halat Maghrib dan Isya’ dengan istilah shalat awwâbîn sebagaimana yang ditanyakan.

Syaikh al-Albani رحمه الله mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib dengan shalat Awwâbin, karena penamaan ini tidak ada asalnya.” (Shahîh Targhîb wa Tarhîb, 1/423).

Memang ada beberapa hadis yang menganjurkan shalat sunnah antara Magrib dan Isya, diantaranya hadits yang diriwayatkan an-Nasâ’i, dari Hudzaifah رضي الله عنه , beliau رضي الله عنه mengatakan,

Saya mendatangi Nabi ﷺ, dan saya shalat Maghrib bersama Beliau ﷺ . Kemudian Beliau ﷺ shalat (sunnah) sampai Isya.

Al-Mundziri dalam at-Targhîb wa Tarhîb menyatakan, sanad hadits ini jayid.

Setelah membawakan berbagai dalil tentang anjuran shalat sunnah antara Maghrib dan Isya, as-Syaukani رحمه الله mengatakan, “Ayat dan hadits yang disebutkan menunjukkan disyariatkannya memperbanyak shalat antara Maghrib dan Isya. Al-Irâqi mengatakan, ‘Di antara Sahabat yang melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu UmarSalmân al-Fârisi, dan Ibnu Mâlik dari kalangan Anshar رضي الله عنهم . Kemudian di kalangan tâbi’in, ada al-Aswad bin Yazid, Utsmân an-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdirrahmân al-Hubuli, Qadhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal rahimahumullâh. Sementara Ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyân at-Tsauri. (Nailul Authâr, 3/60).

Sementara Ulama dari empat madzhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya, berdasarkan hadits dan praktik para sahabat. Bahkan Ulama madzhab Hambali menyebutnya sebagai qiyâmul lail. Karena waktu malam itu yaitu waktu antara Maghrib sampai Shubuh.

Syaikh DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili -Hafi zhahullahu Ta’ala- menyatakan bahwa sejumlah Ulama salaf menganjurkan untuk menghidupkan shalat sunnah antara Maghrib dan Isya dan mereka katakan, ‘Ini waktu yang dilalaikan (sâ’ât al-ghafl ah). (Tajrîd al-Ittibâ, hlm 157).

Namun perlu diingat bahwa ini tidak menunjukkan benarnya shalat yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dengan membatasi enam rakaat dengan pahala besar yang disetarakan dengan pahala ibadah 12 tahun. sebab haditsnya lemah sekali. Hadits yang mereka gunakan adalah hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang berbunyi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ : مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيْهَا بَيْنَهُنَّ بِسُوْءٍ، عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً.

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , beliau رضي الله عنه berkata: Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di antara shalat-shalat itu tidak berkata dengan kata-kata yang buruk, maka shalatnya sebanding ibadah dua belas tahun.

Hadits ini diriwayatkan Imam at-Tirmidzi no. 435 dan Ibnu Mâjah no. 1374. Imam at-Tirmidzi setelah menyampaikan hadits ini berkata: Hadits gharîb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin al-Hubâb dari Umar bin Abi Khats’am. Beliau berkata lagi, ‘Aku telah mendengar Muhammad bin Isma’il (Imam al-Bukhari) menyatakan bahwa Umar bin Abi Khats’am adalah mungkarul hadits dan sangat lemah sekali. Imam adz-Dzahabi dalam Mîzân al-I’tidâl 3/211 berkata: Umar bin Abi Khats’am memiliki dua hadits yang mungkar yaitu:

أَنَّ مَنْ صَلَّى بَعْدَ المَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ

Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib.

Dan

وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ فِيْ لَيْلَةٍ

Barangsiapa membaca surat ad-Dukhan pada satu malam …

Dia meriwayatkan hadits dari Zaid bin al-Hubâb dan Umar bin Yunus al-Yamâmi dan selainnya. Abu Zur’ah melemahkannya dan imam al-Bukhâri menyatakan dia mungkarul hadits dan lemah sekali.

Ada lagi hadits lain yang mirip dengan ini yaitu:

عَنِ ابنِ عُمَرَ قال: سَمِعْتُ النَّبِيْ ﷺ يقول : مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ المَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ بِهَا خَمْسِيْنَ سَنَةً.

Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما , Beliau berkata, “Aku pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib sebelum berkata-kata maka Allâh ampuni dosanya lima puluh tahun (HR Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam Mukhtashar Qiyâm al-Lail hlm 131).

Hadits ini disampaikan ibnu Abi Hâtim رحمه الله dalam al-Ilal 1/78 dann berkata: Abu Zur’ah رحمه الله berkata: Buanglah hadits ini, karena mirip hadits palsu. Abu Zur’ah رحمه الله juga berkata: Muhammad bin Ghazwân ad-Dimasyqi mungkar hadits.

Kesimpulan keduanya hadits yang sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan dasar dalam pensyariatan shalat enam rakaat setelah Maghrib. Wallahu a’lam.

Majalah As-Sunnah Edisi 08/Thn XVIII/Shafar 1436H/Desember 2014M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/shalat-awwabin/